Syekh Nawawi al-Bantani
Allahumma sholi ala Syyaidina Muhammadinni fatihi lima ughliko wal’khotimi lima sabaqo wanasiril haqo bilhaqqi wal’hadi ila shirotikal mustaqiim wa’sholallahu alaiihi wa’ala alihi washobihi haqqo qodrihi wamiqdarihil aziim.
Syekh Nawawi al-Bantani, tentu bukan sekedar sebuah nama. Ulama besar, enlighter yang dilahirkan di desa Tanara, Banten pada tahun 1230 H, itu memang sosok cerdas manusia Banten yang sejak memang kecil memiliki bakat intelektual. Pada masa kanak-kanaknya, beliau bersama dua saudara kandungnya, Tamim dan Ahmad, telah memperoleh pengetahuan dasar dalam Bahasa Arab, yakni Fiqh dan Tafsir, langsung dari ayahnya, Umar Ibnu Arabi.
Proses pendidikan lebih intensif diperolehnya dari Kyai Sahal (juga di Banten), kemudian Kyai Yusuf di Purwakarta, yang terkenal banyak menarik santri-santri dari Jawa. Terutama Jawa Barat dan Banten. Ketika usianya 15 tahun, Syekh Nawawi menunaikan ibadah haji, kemudian menetap selama tiga tahun di sana. Selama menetap di sana, beliau terpikat oleh dinamika kehidupan intelektual. Hal itu mengusik beliau untuk kembali lagi ke Mekkah, kemudian menetap di sana, sampai wafat.
Kecerdasan, kearifan dan bakat beliau dalam berkarya dan mengembangkan potensi dirinya sebagai ulama, membuat Syaikh Nawawi mampu mendorong produktivitasnya. Antara tahun 1830 sampai 1860, dibawah bimbingan Syaikh Khatib Sambas, Abdulgani Bima, Yusuf Sumbulaweni, Nahrawi dan Abdulhamid Daghestani, Syaikh Nawawi muda berhasil menunjukkan potensinya karena antara tahun 1860-1870 selain mengisi waktu senggangnya untuk mengajar di Masjid al-Haram, beliau mulai menunjukkan produktivitas nya dalam menulis buku, meski baru pada fase kemudian (setelah tahun 1870) beliau sungguh intens menulis. Mulai dari karya-karyanya yang pendek yang berisi tentang pedoman-pedoman ibadah sampai tafsir Al-Qur’an, yang kemudian diterbitkan di Mesir pada tahun 1887.
Setidaknya 38 karya Syaikh Nawawi tercatat sebagai karya-karya penting yang menjadi refrensi studi Islam internasional (Y.A Sarkis, 1928). Agak berbeda dengan ulama-ulama yang lain, Syaikh Nawawi lebih banyak membuat memiliki spesifikasi menyempurnakan dan memperdalam, serta memperluas pemahaman atas karya-karya yang sudah ada sebelumnya, selain karya-karya orisinil beliau. Tinjauan yang kritis terhadap berbagai karya ulama pendahulunya, sangat terkenal. Paling tidak, sepuluh tinjauan kritis beliau kini menjadi rujukan. Antara lain:
Syarah al-Jurumiyah, berkaitan bengan tatabahasa Arab (1881) Lubab al-Bayan (1884), Dhariyat al-Yaqin yang berkaitan dengan doktrin-doktrin Islam, yang sebelumnya sudah dikupas oleh Syaikh Sanusi (1886), Fathul Mujib, yang merupakan tinjauan kritis dari Adurr al Farid yang merupakan buah pikiran dari Syaikh Nahrawi, gurunya; Syarah Isra’ Mi’raj karya al-Barzanji, Syarah tentang syair Al-Asmaul Husnah, Syarah Manasik Haji buah pikiran Syarbini, Syarah tentang Suluk al-Jiddah (1883) & Syarah Sullam al-Munajah (1884) karya Syaikh Hadrami, Tafsir Murah Labib dan Syarah tentang syair maulid karya al-Barzanji yang sangat populer karena kerap dibaca setiap peringatan maulid nabi Muhammad SAW.
Tafsir Murah Labib, misalnya, terbilang karya beliau yang sangat mashur, karena dinilai sebagai karya yang berkualitas dan memuat hasil-hasil muzakarah (diskusi) terhadap berbagai persoalan penting, yang dilakukannya dengan ulama-ulama Al-Azhar. Itulah sebabnya beliau dijuluki Sayyid ulama al-Hijaz, atau pemimpin ulama Hijaz. Julukan itu disandang beliau, terutama karena kearifannya. Meski bilau sangat kuat dan tegas menegakkan tauhid dan akidah Islamiyah, beliau tidak menolak praktek-praktek tarekat, selama tarekat itu tidak mengajarkan hal-hal yang bertentangan dengan ajaran agama Islam.
Melihat keseluruhan proses interaksi keilmuan dan dinamika intelektual yang melatari kajian-kajian Islam di pesantren, boleh jadi Syaikh Nawawi merupakan sumbu penting yang menjadi mediasi intelectual flow, kepada Kyai Mahfudz (1918) dan Kyai Khalil- Bangkalan (1923), yang kemudian mengalir dan berporos pada Hashim Ashari (1871 -1947) yang terkenal dengan Hdratus Syaikh pendiri Nahdlatul Ulama.
Dari Syaikh Nawawi, yang mengalir sepenuhnya hal-hal yang menyangkut aqidah islamiyah, yang tidak bersentuhan dengan masalah-masalah tarekat. Para pemimpin tarekat Qadariyah & Naqsabandiyah, dilihat dari genealogi intelektual, mengalir melalui Syaikh Abdul Karim yang juga berguru kepada Khatib Sambas. Syaikh Abdul karim merupakan resouces penting aliran tarekat atas Kyai Khalil Peterongan Jombang dan Kyai Mubarraq, yang juga memperoleh pendalaman aqidah islamiyah (ilmu tauhid) dari Syaikh Nawawi, melalui Kyai Khalil bangkalan Madura.
Selintas Tentang Syekh Maulana Mansyuruddin
Syekh Maulana Mansyuruddin memiliki banyak nama sebutan. Diantaranya Sultan Abu Nasri, Sultan Abdul Kohar, Abdul Shaleh, dan Sultan Haji. Sultan Syekh Mansyur adalah putera Sultan Agung Abdul Fatah Tirtayasa. Pada tahun 1651 M, Sultan Agung Abdul Fatah Tirtayasa berhenti sebagai kesultanan atau raja Banten ke enam. Lalu digantikan kepada Syekh Maulana Mansyuruddin sebagai sultan ke tujuh.
Semasa kesultanannya, Syekh Maulana Mansyuruddin telah mengunjungi beberapa Negara. Setelah dua tahun menjabat, Syekh Maulana Mansyuruddin berangkat ke Iraq untuk mendirikan tanah Banten di Bagdad, sehingga untuk sementara kesultanannya diserahkan kepada puteranya Adipati Ishaq atau Sultan Abdul Fadhli. Sebelum keberangkatannya ke Iraq, ayahnya memberikan wasiat agar ia tidak singgah kemana-mana sebelum pergi ke Iraq, terkecuali jika ke Mekkah. Namun ternyata setibanya Di Bagdad, Syekh Maulana Mansyur uddin
tidak bisa mendirikan tanah Banten. Di dalam perjalanan pulang, Syekh lupa akan titah ayahnya, sehingga ia mampir ke pulau Menjeli di kawasan China. Ia pun menetap di sana selama dua tahun dan menikahi Ratu Jin yang kemudian dianugerahi satu orang putera.
Selama ia berada di China, Sultan Adipati Ishaq di Banten terbujuk oleh Belanda sehingga ia resmi menjadi Sultan Banten. Tetapi Sultan Agung Abdul Fatah tidak menyetujui karena Sultan Maulana Mansyuruddin masih hidup dan harus menunggu kepulangannya dari Bagdad, karena adanya perbedaan pendapat tersebut akhirnya menyebabkan keributan.
Suatu saat, ada seseorang yang baru turun dari kapal mengaku sebagai Sultan Syekh Maulana Mansyuruddin dengan membawa oleh-oleh dari Mekkah. Orang-orang yang ada di sekitar kesultanan Banten pun mempercayinya, termasuk Sultan Adipati Ishaq. Ternyata, orang yang mengaku-ngaku Sultan Maulana Mansyruruddin adalah pendeta keturunan dari Raja Jin yang menguasai pulau Manjeli di China. Selama menjadi Sultan palsu dan menyebabkan kekacauan, akhirnya rakyat membenci Sultan dan keluarganya. Termasuk kepada ayahnya Sultan Agung Andul Fatah. Untuk menghentikan kekacauan tersebut Sultan Agung Abdul Fatah dibantu oleh Auliya Allah yang bernama Pangeran Bu’ang yang merupakan keturunan dari Sultan Maulana Yusuf (Sultan Banten ke dua). Akhirnya kekacauan dapat dihentikan setelah adanya peperangan antara Sultan Agung Abdul Fatah melawan Syekh Maulana Mansyuruddin palsu. Sultan Agung Abdul Fatah dan Pangeran Bu’ang kalah sehingga dibuang ke daerah Tirtayasa. Maka dari itu, rakyat menyebutnya dengan nama Sultan Agung Tirtayasa.
Peristiwa tersebut terdengar oleh Sultan Maulana Mansyuruddin di pulau Menjeli. Akhirnya ia baru sadar dan teringat akan wasiat ayahnya. Segeralah ia memutuskan untuk pulang ke Banten. Namun sebelum pulang ke Banten, ia pergi ke Mekkah untuk memohon ampunan kepada Allah SWT karena merasa telah melanggar wasiat ayahnya. Setelah itu, ia memohon diberi petunjuk kepada Allah agar ia dapat kembali ke Banten. Dengan izin Allah SWT, Syekh Maulana Mansyuruddin menyelam di sumur zam-zam yang kemudian muncul di daerah Cimanuk Pandeglang yang sedang mengalami masalah besar karena ada lubang air yang tidak henti-henti mengeluarkan air. Lalu ia menutupnya lubang itu dengan alquran (pernah di bahas sebelumnya tentang sejarah Batu Quran). Setelah membereskan kejadian tersebut, ia memohon ampun kepada Ayahandanya, dan akhirnya ia kembali menjabat sebagai sultan.
Singkat cerita, setelah ia menyiarkan agama Islam ke berbagai daerah, ia kembali ke Cikadueun. Dan meninggal dunia pada tahun 1672 M kemudian dimakamkan di Cikadueun Pandeglang Banten. Sampai sekarang, tempat pemakaman Syekh Maulana Mansyuruddin sering dikunjungi atau diziarahi oleh masyarakat dari berbagai daerha dan dikeramatkan.
Penziarah Datang dari Berbagai Daerah
Mula-mula, tempat keramat ini tidak begitu ramai seperti sekarang. Menurut Saepulloh, juru pelihara tempat wisata ziarah Cikadueun tersebut mengatakan sebelumnya hanya kerabat-kerabat atau keturunan Syekh saja yang datang untuk ziarah. “Dulu hanya orang-orang terdekat saja, tapi sekarang sudah menjadi tempat ziarah umum, bahkan dari daerah jauh pun datang beramai-ramai untuk ziarah kesini,” kata bapak kelahiran Pandeglang, 18 Januari 1969 ini.
Setiap hari, tempat ini selalu didatangi oleh pengunjung dari berbagai daerah. Seperti dari Jawa, Sukabumi, Medan, Bogor, dan lain sebagainya. Menurut Saepulloh, selama dua puluh empat jam ia berjaga-jaga di tempat itu karena pengunjung selalu berdatangan. Terutama pada bulan-bulan tertentu. Seperti saat bulan Maulid, bulan Sya’ban, dan bulan Syawal.
Selain untuk beribadah, pengunjung biasanya membawa air dari tempat ziarah tersebut. Di tempat wisata ziarah Cikadueun memang ada air yang tidak pernah habis. Air tersebut ada dalam Gentong Pusaka yang konon mengandung barokah.
“Air tersebut adalah wasiat dari Syekh Maulana Mansyuruddin, barokahnya yang tergantung pada kepentingan masing-masing,” ujar bapak tiga orang anak ini.
Setelah menjadi kawasan wisata ziarah, tempat ini menjadi sumber mencari rezeki bagi penduduk sekitar dengan berjualan. Sepanjang jalan menuju tempat ziarah, kita disambut dengan suguhan jajanan khas Banten seperti Emping, Keceprek, dan ada pula yang berjualan wewangian dan peci.
“Alhamdulillah, tempat wisata ziarah ini juga berimbas baik kepada penduduk Cikadueun, seperti berjualan, ojek juga jadi tidak sepi penumpang, dan lainnya,” lanjut pria yang telah berpuluhan tahun menjadi juru pelihara.
Syekh Maulana Mansyur - Cikaduen
حِزْبُ النـَّصـْرِ المُبـَارَكِ
لِسـَيـِّدي أبـِي الحـَسـَنِ الشـَّاذلـِي
بـِـسْـمِ اللهِ الرَّحمـنِ الرَّحـيمِ
اللهـُمَّ بـِسَطـْوَةِ جَبـَروتِ قـَهـْرِكَ وبـِسُرْعـَةِ إغـَاثـَةِ نـَصـْرِكَ وَبـِغِـيرَتـِكَ لإنـْـتـِهـَاكِ حُرُمَـاتِكَ وَبـِحـِمَايَتِكَ لِـمَن إحـْـتـَمـَى بـِآياتِكَ أسألـُكَ يا اللهُ يَا سَميعُ يَا قـَريبُ يَا مُجـِيبُ يَا سَريعُ يَا مُنـْتـَـقِمُ يَا شـَديدَ البَـطـْشِ يَا جَبََّارُ يَا قـَهـَّارُ يَا مَنْ لا يُعْـجـِزُهُ قـَهـْرُ الجَبـَابـِرَةِ ولا يَعْظـُمُ عـَلـَيْهِ هَلاكُ المُتـَمَرِّدَةِ مِنَ المُلوكِ والأكـَاسِرَةِ أن تـَجْـعَلَ كـَيـْدَ مَنْ كـَادَنِي في نـَحْرِهِ وَمَكـْرَ مَنْ مَكـَرَ بي عَـائِداً عَليهِ وَحُـفـْرَة مَنْ حَفـَرَ لي وَاقِعاً فيها وَمَنْ نـَصَبَ لي شـَبـَكـَة الخَدَاعِ إجْعَلـْهُ يا سَيِّدي مُسَاقاً إليها وَمُصَـاداً فيها وَأسِيراً لـَدَيْهـَا اللهُمَّ بـِحَقِّ كـهيعص إكـْـفِـنـَا هَمَّ العِدا وَلـَقـِّهـِمْ الرَّدَى وَإجْعـَلهُمْ لِكـُلِّ حَبيبٍ فِداً وَسَلـِّط عَلـَيـْهـِمْ عَاجـِلَ النـِّقـْمـَةِ في اليَوْمِ والغـَدِ. اللهُمَّ بَدِّدْ شـَمْلـَهـُمْ، اللهُمَّ فـَرِّق جَمْـعَـهـُم اللهُمَّ أقـْلِلْ عَدَدَهـُمْ، اللهُمَّ فـُلَّ حَدَّهُمْ، اللهُمَّ إجْعَلْ الدَّائِرَة عَلـَيـْهـِمْ اللهُمَّ أرْسِلْ العَذابَ إليهـِمْ، اللهُمَّ أخـْرِجْـهـُمْ عَنْ دَائِرَةِ الحِلـْمِ وَإسْـلـُبـْهـُمْ مَدَدَ الإمْـهـَالِ وغـُلَّ أيْديَهـُمْ وإرْبـِط عَلـَى قـُلوبـِهـِمْ ولا تـُبـَلـِّغـْهـُمْ الآمال، اللهُمَّ مَزِّقـْهـُمْ كـُلَّ مُمَزَّقٍ مَزَّقـْـتـَهُ لأعْدَائِكَ إنـْـتِصـَاراً لأنـْبـِيائِكَ وَرُسُـلِكَ وَأولِيائِـكَ اللهُمَّ إنـْـتـَصِرْ لنا إنـْـتـِصَـارَكَ لأحْبـَابـِكَ على أعْدَائِكَ، اللهُمَّ لا تـُمَكـِّنْ الأعْداءَ فينا ولا تـُسـَلـِطـَهـُمْ عَـلـَيْـنـَا بـِذنوبـِنـَا حم حم حم حـــم حم حم حم حُـمَّ الأمْرُ وَجَاءَ النـَصـْرُ فـَعـَلينـْا لا يـُنـْصـَرون حمعسق حِمَايَتـُنـَا مِمَّا نـَخـَافُ، اللهُمَّ قـِنـَا شـَرَّ الأسْواءِ ولا تـَجْعـَلنـَا مَحـَلاً للبـَلـْواءِ، اللهُمَّ أعْطِنـَا أمَلَ الرَّجَاءِ وَفـَوْقَ الأمَلِ يَا هُوَ يَا هُوَ يَا هُوَ يَا مَنْ بـِفـَضْـلِهِ لِفـَضْلِهِ نـَسْألْ – نـَسْألـُكَ العَجـَلَ العَجَلَ إلهي الإجَابَة الإجَابَة يَا مَنْ أجَابَ نـُوحاً في قـَوْمِهِ يَا مَنْ نـَصَرَ إبْراهِيمَ عَلى أعْدائِهِ يَا مَنْ رَدَّ يُوسُفَ على يَعْـقوب يَا مَنْ كـَشـَفَ ضـُرَّ أيُّوبَ يَا مَنْ أجَابَ دَعْوَةَ زكـَرِيَّا يَا مَنْ قـَبـِلَ تـَسـْبيحَ يُونـُسَ بـِنْ مَتـَّى نـَسْـألـُكَ بـِأسْرارِ أصْحـَابِ هَذِهِ الدَّعَوَاتِ أنْ تـَقـْبـَلَ مَا بـِهِ دَعَوْنـَاكَ وأنْ تـُعْطِينـَا مَا سَألناكَ أنـْجـِزْ لنـَا وَعْدَكَ الذي وَعَدْتـَهُ لِعِـبَادِكَ المُؤمِنين لا إلهَ الا أنـْتَ سُبْحَانـَكَ إني كـُنـْتُ مِنَ الظـَّالِمِينَ إنـْـقـَطـَعـَتْ آمَالـُنـَا وَعِزَّتِكَ الا مِنـْكَ وَخـَابَ رَجَاؤُنـَا وَحَـقِـكَ الا فيكَ.
إنْ أبْطـَأتْ غـَارَةُ الأرْحَامِ وإبْـتـَعـَدَتْ فـَأقـْرَبُ السَّيْرِ مِنـَّا غـَارَةُ اللهِ
يا غـَارَةَ اللهِ جـِدِي السـَّيـْرَ مُسْرِعَة في حَلِّ عُـقـْدَتـِنـَا يَا غـَارَةَ اللهِ
عَدَتْ العَادونَ وَجَارُوا وَرَجَوْنـَا اللهَ مُجـيراً
وَكـَفـَى باللهِ وَلـِيـَّا وَكـَفـَى باللهِ نـَصِيراً
حَسْبـُنـَا اللهُ وَنِعْمَ الوَكِيلُ – ثلاثا
ولا حَوْلَ ولا قـُوَةَ الا باللهِ العَليِّ العَظِيمِ إسْـتـَجـِبْ لـَنـَا آمين – ثلاثا
فـَقـُطِعَ دَابـِرُ القـَوْمِ الذينَ ظـَلـَمُوا والحَمْدُ لِلهِ رَبَّ العَالـَمينَ ولا حَوْلَ ولا قـُوَّةَ الا باللهِ العَلِيّ العَظِيم
Syekh Nawawi al-Bantani
Allahumma sholi ala Syyaidina Muhammadinni fatihi lima ughliko wal’khotimi lima sabaqo wanasiril haqo bilhaqqi wal’hadi ila shirotikal mustaqiim wa’sholallahu alaiihi wa’ala alihi washobihi haqqo qodrihi wamiqdarihil aziim.
Syekh Nawawi al-Bantani, tentu bukan sekedar sebuah nama. Ulama besar, enlighter yang dilahirkan di desa Tanara, Banten pada tahun 1230 H, itu memang sosok cerdas manusia Banten yang sejak memang kecil memiliki bakat intelektual. Pada masa kanak-kanaknya, beliau bersama dua saudara kandungnya, Tamim dan Ahmad, telah memperoleh pengetahuan dasar dalam Bahasa Arab, yakni Fiqh dan Tafsir, langsung dari ayahnya, Umar Ibnu Arabi.
Proses pendidikan lebih intensif diperolehnya dari Kyai Sahal (juga di Banten), kemudian Kyai Yusuf di Purwakarta, yang terkenal banyak menarik santri-santri dari Jawa. Terutama Jawa Barat dan Banten. Ketika usianya 15 tahun, Syekh Nawawi menunaikan ibadah haji, kemudian menetap selama tiga tahun di sana. Selama menetap di sana, beliau terpikat oleh dinamika kehidupan intelektual. Hal itu mengusik beliau untuk kembali lagi ke Mekkah, kemudian menetap di sana, sampai wafat.
Kecerdasan, kearifan dan bakat beliau dalam berkarya dan mengembangkan potensi dirinya sebagai ulama, membuat Syaikh Nawawi mampu mendorong produktivitasnya. Antara tahun 1830 sampai 1860, dibawah bimbingan Syaikh Khatib Sambas, Abdulgani Bima, Yusuf Sumbulaweni, Nahrawi dan Abdulhamid Daghestani, Syaikh Nawawi muda berhasil menunjukkan potensinya karena antara tahun 1860-1870 selain mengisi waktu senggangnya untuk mengajar di Masjid al-Haram, beliau mulai menunjukkan produktivitas nya dalam menulis buku, meski baru pada fase kemudian (setelah tahun 1870) beliau sungguh intens menulis. Mulai dari karya-karyanya yang pendek yang berisi tentang pedoman-pedoman ibadah sampai tafsir Al-Qur’an, yang kemudian diterbitkan di Mesir pada tahun 1887.
Setidaknya 38 karya Syaikh Nawawi tercatat sebagai karya-karya penting yang menjadi refrensi studi Islam internasional (Y.A Sarkis, 1928). Agak berbeda dengan ulama-ulama yang lain, Syaikh Nawawi lebih banyak membuat memiliki spesifikasi menyempurnakan dan memperdalam, serta memperluas pemahaman atas karya-karya yang sudah ada sebelumnya, selain karya-karya orisinil beliau. Tinjauan yang kritis terhadap berbagai karya ulama pendahulunya, sangat terkenal. Paling tidak, sepuluh tinjauan kritis beliau kini menjadi rujukan. Antara lain:
Syarah al-Jurumiyah, berkaitan bengan tatabahasa Arab (1881) Lubab al-Bayan (1884), Dhariyat al-Yaqin yang berkaitan dengan doktrin-doktrin Islam, yang sebelumnya sudah dikupas oleh Syaikh Sanusi (1886), Fathul Mujib, yang merupakan tinjauan kritis dari Adurr al Farid yang merupakan buah pikiran dari Syaikh Nahrawi, gurunya; Syarah Isra’ Mi’raj karya al-Barzanji, Syarah tentang syair Al-Asmaul Husnah, Syarah Manasik Haji buah pikiran Syarbini, Syarah tentang Suluk al-Jiddah (1883) & Syarah Sullam al-Munajah (1884) karya Syaikh Hadrami, Tafsir Murah Labib dan Syarah tentang syair maulid karya al-Barzanji yang sangat populer karena kerap dibaca setiap peringatan maulid nabi Muhammad SAW.
Tafsir Murah Labib, misalnya, terbilang karya beliau yang sangat mashur, karena dinilai sebagai karya yang berkualitas dan memuat hasil-hasil muzakarah (diskusi) terhadap berbagai persoalan penting, yang dilakukannya dengan ulama-ulama Al-Azhar. Itulah sebabnya beliau dijuluki Sayyid ulama al-Hijaz, atau pemimpin ulama Hijaz. Julukan itu disandang beliau, terutama karena kearifannya. Meski bilau sangat kuat dan tegas menegakkan tauhid dan akidah Islamiyah, beliau tidak menolak praktek-praktek tarekat, selama tarekat itu tidak mengajarkan hal-hal yang bertentangan dengan ajaran agama Islam.
Melihat keseluruhan proses interaksi keilmuan dan dinamika intelektual yang melatari kajian-kajian Islam di pesantren, boleh jadi Syaikh Nawawi merupakan sumbu penting yang menjadi mediasi intelectual flow, kepada Kyai Mahfudz (1918) dan Kyai Khalil- Bangkalan (1923), yang kemudian mengalir dan berporos pada Hashim Ashari (1871 -1947) yang terkenal dengan Hdratus Syaikh pendiri Nahdlatul Ulama.
Dari Syaikh Nawawi, yang mengalir sepenuhnya hal-hal yang menyangkut aqidah islamiyah, yang tidak bersentuhan dengan masalah-masalah tarekat. Para pemimpin tarekat Qadariyah & Naqsabandiyah, dilihat dari genealogi intelektual, mengalir melalui Syaikh Abdul Karim yang juga berguru kepada Khatib Sambas. Syaikh Abdul karim merupakan resouces penting aliran tarekat atas Kyai Khalil Peterongan Jombang dan Kyai Mubarraq, yang juga memperoleh pendalaman aqidah islamiyah (ilmu tauhid) dari Syaikh Nawawi, melalui Kyai Khalil bangkalan Madura.
Selintas Tentang Syekh Maulana Mansyuruddin
Syekh Maulana Mansyuruddin memiliki banyak nama sebutan. Diantaranya Sultan Abu Nasri, Sultan Abdul Kohar, Abdul Shaleh, dan Sultan Haji. Sultan Syekh Mansyur adalah putera Sultan Agung Abdul Fatah Tirtayasa. Pada tahun 1651 M, Sultan Agung Abdul Fatah Tirtayasa berhenti sebagai kesultanan atau raja Banten ke enam. Lalu digantikan kepada Syekh Maulana Mansyuruddin sebagai sultan ke tujuh.
Semasa kesultanannya, Syekh Maulana Mansyuruddin telah mengunjungi beberapa Negara. Setelah dua tahun menjabat, Syekh Maulana Mansyuruddin berangkat ke Iraq untuk mendirikan tanah Banten di Bagdad, sehingga untuk sementara kesultanannya diserahkan kepada puteranya Adipati Ishaq atau Sultan Abdul Fadhli. Sebelum keberangkatannya ke Iraq, ayahnya memberikan wasiat agar ia tidak singgah kemana-mana sebelum pergi ke Iraq, terkecuali jika ke Mekkah. Namun ternyata setibanya Di Bagdad, Syekh Maulana Mansyur uddin
tidak bisa mendirikan tanah Banten. Di dalam perjalanan pulang, Syekh lupa akan titah ayahnya, sehingga ia mampir ke pulau Menjeli di kawasan China. Ia pun menetap di sana selama dua tahun dan menikahi Ratu Jin yang kemudian dianugerahi satu orang putera.
Selama ia berada di China, Sultan Adipati Ishaq di Banten terbujuk oleh Belanda sehingga ia resmi menjadi Sultan Banten. Tetapi Sultan Agung Abdul Fatah tidak menyetujui karena Sultan Maulana Mansyuruddin masih hidup dan harus menunggu kepulangannya dari Bagdad, karena adanya perbedaan pendapat tersebut akhirnya menyebabkan keributan.
Suatu saat, ada seseorang yang baru turun dari kapal mengaku sebagai Sultan Syekh Maulana Mansyuruddin dengan membawa oleh-oleh dari Mekkah. Orang-orang yang ada di sekitar kesultanan Banten pun mempercayinya, termasuk Sultan Adipati Ishaq. Ternyata, orang yang mengaku-ngaku Sultan Maulana Mansyruruddin adalah pendeta keturunan dari Raja Jin yang menguasai pulau Manjeli di China. Selama menjadi Sultan palsu dan menyebabkan kekacauan, akhirnya rakyat membenci Sultan dan keluarganya. Termasuk kepada ayahnya Sultan Agung Andul Fatah. Untuk menghentikan kekacauan tersebut Sultan Agung Abdul Fatah dibantu oleh Auliya Allah yang bernama Pangeran Bu’ang yang merupakan keturunan dari Sultan Maulana Yusuf (Sultan Banten ke dua). Akhirnya kekacauan dapat dihentikan setelah adanya peperangan antara Sultan Agung Abdul Fatah melawan Syekh Maulana Mansyuruddin palsu. Sultan Agung Abdul Fatah dan Pangeran Bu’ang kalah sehingga dibuang ke daerah Tirtayasa. Maka dari itu, rakyat menyebutnya dengan nama Sultan Agung Tirtayasa.
Peristiwa tersebut terdengar oleh Sultan Maulana Mansyuruddin di pulau Menjeli. Akhirnya ia baru sadar dan teringat akan wasiat ayahnya. Segeralah ia memutuskan untuk pulang ke Banten. Namun sebelum pulang ke Banten, ia pergi ke Mekkah untuk memohon ampunan kepada Allah SWT karena merasa telah melanggar wasiat ayahnya. Setelah itu, ia memohon diberi petunjuk kepada Allah agar ia dapat kembali ke Banten. Dengan izin Allah SWT, Syekh Maulana Mansyuruddin menyelam di sumur zam-zam yang kemudian muncul di daerah Cimanuk Pandeglang yang sedang mengalami masalah besar karena ada lubang air yang tidak henti-henti mengeluarkan air. Lalu ia menutupnya lubang itu dengan alquran (pernah di bahas sebelumnya tentang sejarah Batu Quran). Setelah membereskan kejadian tersebut, ia memohon ampun kepada Ayahandanya, dan akhirnya ia kembali menjabat sebagai sultan.
Singkat cerita, setelah ia menyiarkan agama Islam ke berbagai daerah, ia kembali ke Cikadueun. Dan meninggal dunia pada tahun 1672 M kemudian dimakamkan di Cikadueun Pandeglang Banten. Sampai sekarang, tempat pemakaman Syekh Maulana Mansyuruddin sering dikunjungi atau diziarahi oleh masyarakat dari berbagai daerha dan dikeramatkan.
Penziarah Datang dari Berbagai Daerah
Mula-mula, tempat keramat ini tidak begitu ramai seperti sekarang. Menurut Saepulloh, juru pelihara tempat wisata ziarah Cikadueun tersebut mengatakan sebelumnya hanya kerabat-kerabat atau keturunan Syekh saja yang datang untuk ziarah. “Dulu hanya orang-orang terdekat saja, tapi sekarang sudah menjadi tempat ziarah umum, bahkan dari daerah jauh pun datang beramai-ramai untuk ziarah kesini,” kata bapak kelahiran Pandeglang, 18 Januari 1969 ini.
Setiap hari, tempat ini selalu didatangi oleh pengunjung dari berbagai daerah. Seperti dari Jawa, Sukabumi, Medan, Bogor, dan lain sebagainya. Menurut Saepulloh, selama dua puluh empat jam ia berjaga-jaga di tempat itu karena pengunjung selalu berdatangan. Terutama pada bulan-bulan tertentu. Seperti saat bulan Maulid, bulan Sya’ban, dan bulan Syawal.
Selain untuk beribadah, pengunjung biasanya membawa air dari tempat ziarah tersebut. Di tempat wisata ziarah Cikadueun memang ada air yang tidak pernah habis. Air tersebut ada dalam Gentong Pusaka yang konon mengandung barokah.
“Air tersebut adalah wasiat dari Syekh Maulana Mansyuruddin, barokahnya yang tergantung pada kepentingan masing-masing,” ujar bapak tiga orang anak ini.
Setelah menjadi kawasan wisata ziarah, tempat ini menjadi sumber mencari rezeki bagi penduduk sekitar dengan berjualan. Sepanjang jalan menuju tempat ziarah, kita disambut dengan suguhan jajanan khas Banten seperti Emping, Keceprek, dan ada pula yang berjualan wewangian dan peci.
“Alhamdulillah, tempat wisata ziarah ini juga berimbas baik kepada penduduk Cikadueun, seperti berjualan, ojek juga jadi tidak sepi penumpang, dan lainnya,” lanjut pria yang telah berpuluhan tahun menjadi juru pelihara.
Suatu saat, ada seseorang yang baru turun dari kapal mengaku sebagai Sultan Syekh Maulana Mansyuruddin dengan membawa oleh-oleh dari Mekkah. Orang-orang yang ada di sekitar kesultanan Banten pun mempercayinya, termasuk Sultan Adipati Ishaq. Ternyata, orang yang mengaku-ngaku Sultan Maulana Mansyruruddin adalah pendeta keturunan dari Raja Jin yang menguasai pulau Manjeli di China. Selama menjadi Sultan palsu dan menyebabkan kekacauan, akhirnya rakyat membenci Sultan dan keluarganya. Termasuk kepada ayahnya Sultan Agung Andul Fatah. Untuk menghentikan kekacauan tersebut Sultan Agung Abdul Fatah dibantu oleh Auliya Allah yang bernama Pangeran Bu’ang yang merupakan keturunan dari Sultan Maulana Yusuf (Sultan Banten ke dua). Akhirnya kekacauan dapat dihentikan setelah adanya peperangan antara Sultan Agung Abdul Fatah melawan Syekh Maulana Mansyuruddin palsu. Sultan Agung Abdul Fatah dan Pangeran Bu’ang kalah sehingga dibuang ke daerah Tirtayasa. Maka dari itu, rakyat menyebutnya dengan nama Sultan Agung Tirtayasa.
Peristiwa tersebut terdengar oleh Sultan Maulana Mansyuruddin di pulau Menjeli. Akhirnya ia baru sadar dan teringat akan wasiat ayahnya. Segeralah ia memutuskan untuk pulang ke Banten. Namun sebelum pulang ke Banten, ia pergi ke Mekkah untuk memohon ampunan kepada Allah SWT karena merasa telah melanggar wasiat ayahnya. Setelah itu, ia memohon diberi petunjuk kepada Allah agar ia dapat kembali ke Banten. Dengan izin Allah SWT, Syekh Maulana Mansyuruddin menyelam di sumur zam-zam yang kemudian muncul di daerah Cimanuk Pandeglang yang sedang mengalami masalah besar karena ada lubang air yang tidak henti-henti mengeluarkan air. Lalu ia menutupnya lubang itu dengan alquran (pernah di bahas sebelumnya tentang sejarah Batu Quran). Setelah membereskan kejadian tersebut, ia memohon ampun kepada Ayahandanya, dan akhirnya ia kembali menjabat sebagai sultan.
Singkat cerita, setelah ia menyiarkan agama Islam ke berbagai daerah, ia kembali ke Cikadueun. Dan meninggal dunia pada tahun 1672 M kemudian dimakamkan di Cikadueun Pandeglang Banten. Sampai sekarang, tempat pemakaman Syekh Maulana Mansyuruddin sering dikunjungi atau diziarahi oleh masyarakat dari berbagai daerha dan dikeramatkan.
Penziarah Datang dari Berbagai Daerah
Mula-mula, tempat keramat ini tidak begitu ramai seperti sekarang. Menurut Saepulloh, juru pelihara tempat wisata ziarah Cikadueun tersebut mengatakan sebelumnya hanya kerabat-kerabat atau keturunan Syekh saja yang datang untuk ziarah. “Dulu hanya orang-orang terdekat saja, tapi sekarang sudah menjadi tempat ziarah umum, bahkan dari daerah jauh pun datang beramai-ramai untuk ziarah kesini,” kata bapak kelahiran Pandeglang, 18 Januari 1969 ini.
Setiap hari, tempat ini selalu didatangi oleh pengunjung dari berbagai daerah. Seperti dari Jawa, Sukabumi, Medan, Bogor, dan lain sebagainya. Menurut Saepulloh, selama dua puluh empat jam ia berjaga-jaga di tempat itu karena pengunjung selalu berdatangan. Terutama pada bulan-bulan tertentu. Seperti saat bulan Maulid, bulan Sya’ban, dan bulan Syawal.
Selain untuk beribadah, pengunjung biasanya membawa air dari tempat ziarah tersebut. Di tempat wisata ziarah Cikadueun memang ada air yang tidak pernah habis. Air tersebut ada dalam Gentong Pusaka yang konon mengandung barokah.
“Air tersebut adalah wasiat dari Syekh Maulana Mansyuruddin, barokahnya yang tergantung pada kepentingan masing-masing,” ujar bapak tiga orang anak ini.
Setelah menjadi kawasan wisata ziarah, tempat ini menjadi sumber mencari rezeki bagi penduduk sekitar dengan berjualan. Sepanjang jalan menuju tempat ziarah, kita disambut dengan suguhan jajanan khas Banten seperti Emping, Keceprek, dan ada pula yang berjualan wewangian dan peci.
“Alhamdulillah, tempat wisata ziarah ini juga berimbas baik kepada penduduk Cikadueun, seperti berjualan, ojek juga jadi tidak sepi penumpang, dan lainnya,” lanjut pria yang telah berpuluhan tahun menjadi juru pelihara.
Syekh Maulana Mansyur - Cikaduen
حِزْبُ النـَّصـْرِ المُبـَارَكِ
yang butuh angka hasil ritual ghoib jitu
BalasHapus,2d_3d_4d_5d_6d, telpon eyang woro manggolo di nomor ini
(_082_391_772_208_) terima kasih
Assalamualaikum, saya mnta no wa dan hp nya, krn saya butuh info mengenai turunan syekh manshur ini no wa saya +967736306107 terimakasih assalamu'alaikum
BalasHapus