Artinya: "Ya Tuhanku, janganlah Engkau membiarkan aku hidupku seorang diri, dan Engkaulah pewaris yang paling baik." (QS. Al-Anbiyai': 89).
Artinya: "Ya Tuhanku, berilah aku dari sisi-Mu seorang anak yang baik. Sungguh Engkau Maha Pendengar doa." (QS. Ali 'Imron: 38).
Penjelasan:
Doa di atas baik sekali dibaca oleh orang-orang yang belum mempunyai keturunan dan pasangan hidup. Juga baik sekali dibaca oleh setiap muslim agar diberi keturunan yang shalih.
Kedua ayat diatas merupakan doanya Nabi Zakariya a.s. agar diberi keturunan sebagai pelenjut perjuangannya menegakkan agama Allah. Kisah Nabi Zakaria bisa dilihat dalam Al-Our'an Surah Al-Anbiya' ayat, 89-90; Ali-'Imron, 38-41
Do'a Kelapangan hati
Artinya: "Ya Tuhan, lapangkanlah dadaku, mudahkanlah segala urusanku, dan lepaskanlah kekakuan lidahku, agar mereka mengerti perkataanku." (QS. Thaha: 27)
Penjelasan:
Doa di atas balk sekali dibaca ketika menghadapi kezhaliman seseorang, kelompok, dan penguasa. Juga dibaca agar mendapatkan kelancaran, kemudahan dalam berdakwah. Doa ini pula yang sering dibaca oleh para mubaligh.
Al-Quran mengisahkan, bahwa doa tersebut dibaca oleh Nabi Musa a.s. ketika mendapat perintah dari Allah Swt. agar menyampaikan risalah kepada Fir'aun. Dan akhirnya Allah Swt. mengabulkan permintaan Nabi Musa a.s., bisa dilihat dalam Al-Quran Surah Al-kahfi dari ayat 24-36
Artinya: "Ya Tuhan, janganlah Engkau jadikan kami sasaran fitnah bagi kaum yang zhalim, dan selamatkanlah kami dengan curahan rahmat-Mu dari tipu daya orang- orang yang kafir." (Qs. Yunus: 85-86).
Penjelasan:
Doa ini dibaca oleh kelompok minoritas yang beriman kepada Nabi Musa a.s., setelah mereka menyaksikan kemukjizatannya dihadapan Fir'aun. Ketika itu, kaum Nabi Musa as yang terdiri dari pemuda-pemuda dalam keadaan takut, bahwa Fir'aun dan pemuka-pemukanya akan menyiksa mereka. Maka pada waktu itu pula Nabi Musa as memerintahkan kepada kaumnya agar tidak takut dan menyerahkan sepenuhnya kepada Allah Swt., seraya berdoa dengan lafazh doa diatas. Bisa dilihat dalam Surah Yunus ayat 83-86.
Penjelasan:
Doa ini dibaca oleh kelompok minoritas yang beriman kepada Nabi Musa a.s., setelah mereka menyaksikan kemukjizatannya dihadapan Fir'aun. Ketika itu, kaum Nabi Musa as yang terdiri dari pemuda-pemuda dalam keadaan takut, bahwa Fir'aun dan pemuka-pemukanya akan menyiksa mereka. Maka pada waktu itu pula Nabi Musa as memerintahkan kepada kaumnya agar tidak takut dan menyerahkan sepenuhnya kepada Allah Swt., seraya berdoa dengan lafazh doa diatas. Bisa dilihat dalam Surah Yunus ayat 83-86.
Salah satu dari sekian banyak aktivitas yang dilakukan para muda kita dewasa ini, cenderung menjauh bahkan bertentangan dari pada ajaran-ajaran Islam. Seperti diantaranya membentuk club-club kendaraan bermotor, berkumpul di ruas-ruas jalan sambil memparkir kendaraannya di pinggir jalan, atau melakukan pawai keliling. Waktu muda yang pontensial tidak mereka gunakan sebagaimana mestinya alias mereke sia-siakan begitu aja. Bagaimanakah fenomena ini menurut pandangan Islam?
FORSAN SALAF menjawab :
Pada dasarnya Islam memberikan kebebasan kepada pemeluknya untuk melakukan kegiatan apapun, selama kegiatan yang dilakukan itu tidak membahayakan pelaku dan orang lain ataupun lingkungannya. Sebagaimana juga dihalalkannya segala sesuatu yang ada di bumi ini untuk dimakan, selama sesuatu itu tidak membahayakan atau ada dalil yang mengharamkannya.
Adapun kebiasaan para muda yang nongkrong di ruas-ruas jalan dengan berbagai macam atributnya adalah boleh saja untuk dilakukan. Asal mampu melaksanakan kewajiban dan mampu memberikan hak pengguna jalan, diantaranya tidak mengganggu pengguna jalan, dan dapat memberikan manfaat, serta tidak melihat wanita yang sedang berjalan yang bukan mahromnya.
Sebagaimana dikisahkan, Nabi Muhammad SAW pernah mengingatkan kepada orang-orang yang sering duduk di pinggir-pinggir jalan, beliau bersabda:
إِيَّاكُمْ وَالْجُلُوسَ فِي الطُّرُقَاتِ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا لَنَا بُدٌّ مِنْ مَجَالِسِنَا نَتَحَدَّثُ فِيهَا قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَإِذَا أَبَيْتُمْ إِلَّا الْمَجْلِسَ فَأَعْطُوا الطَّرِيقَ حَقَّهُ قَالُوا وَمَا حَقُّهُ قَالَ غَضُّ الْبَصَرِ وَكَفُّ الْأَذَى وَرَدُّ السَّلَامِ وَالْأَمْرُ بِالْمَعْرُوفِ وَالنَّهْيُ عَنْ الْمُنْكَرِ
“Hati-hati kalian jangan duduk-duduk di pinggir jalan”. Maka mereka menjawab, “Ya Rasulullah kami tidak bisa menghindarinya, kami hanya bercakap-cakap saja”. Maka Nabi menjawab, “ Jika kamu memang harus duduk, maka berikanlah hak-haknya jalan, yaitu; memejamkan mata dari pada yang haram, jangan mengganggu orang yang berjalan, menjawab salam, mengajak orang berbuat baik, mencegah orang berbuat kemungkaran,”.(HR Muslim. 3960)
“Hati-hati kalian jangan duduk-duduk di pinggir jalan”. Maka mereka menjawab, “Ya Rasulullah kami tidak bisa menghindarinya, kami hanya bercakap-cakap saja”. Maka Nabi menjawab, “ Jika kamu memang harus duduk, maka berikanlah hak-haknya jalan, yaitu; memejamkan mata dari pada yang haram, jangan mengganggu orang yang berjalan, menjawab salam, mengajak orang berbuat baik, mencegah orang berbuat kemungkaran,”.(HR Muslim. 3960)
Adapun fenomena yang dilakukan pemuda saat ini justru sebaliknya, mereka mengganggu jalan dan cenderung menciptakan konflik dengan para pejalan yang lain. Bahkan berkumpulnya mereka ini jadikan ajang untuk ngobrol, hibah kesana kemari atau berbicara yang tidak ada manfaatnya. Tempat yang mereka pilih untuk nongkrong adalah tempat yang ramai dilalui para pejalan kaki dan tak jarang wanita yang lewat digoda.
Perkumpulan yang mereka adakan tidak ada maksud untuk saling menyebarkan atau menjawab salam. Sehingga yang terjadi tidak ada ‘amar-ma’ruf dan nahi-munkar, namun justru sebaliknya. Dengan demikian, maka hukumnya adalah tidak dibenarkan dalam agama.
Sementara itu, dalam pandangan Islam masa muda adalah masa yang sangat urgen dalam jenjang kehidupan manusia., karenanya harus lebih bijak dalam menggunakannya. Pemuda tidak hanya dituntut untuk menghindari perbuatan yang tidak baik, namun lebih dari itu, seorang pemuda harus mampu menentukan pilihan terhadap sesuatu hal yang terbaik dari yang baik. Perbuatan yang lebih memberikan manfaat baginya dan juga bagi kepentingan agamanya serta menambah kekuatan dan keteguhan imannya. Sebab masa muda adalah waktu yang tepat untuk digunakan dengan memperbanyak segala macam kegiatan yang positif, karena masih didukung dengan kondisi tubuh masih prima. Karenanya, masa muda merupakan masa puncaknya kekuatan manusia, jika telah berlalu masa muda, maka berlalu pula kekuatannya, dan tidak akan dijumpai kekuatan itu lagi kecuali masa tua yang penuh dengan kekurangan dan kelemahan.
Sebagaimana dicontohkan sekelompok pemuda Ashabul-Kahfi yang begitu kuat untuk menjaga agama dan imannya, mereka masuk ke dalam gua demi untuk menghindari pengaruh masyarakatnya yang telah banyak melakukan perbuatan-perbuatan yang melanggar agama. Dikisahkan dalam Alquran (QS.18:10):
إِذْ أَوَى الْفِتْيَةُ إِلَى الْكَهْفِ فَقَالُوا رَبَّنَا آَتِنَا مِنْ لَدُنْكَ رَحْمَةً وَهَيِّئْ لَنَا مِنْ أَمْرِنَا رَشَدً
(Ingatlah) tatkala para pemuda itu mencari tempat berlindung ke dalam gua, lalu mereka berdoa: “Wahai Tuhan kami, berikanlah rahmat kepada kami dari sisi-Mu dan sempurnakanlah bagi kami petunjuk yang lurus dalam urusan kami (ini).”
(Ingatlah) tatkala para pemuda itu mencari tempat berlindung ke dalam gua, lalu mereka berdoa: “Wahai Tuhan kami, berikanlah rahmat kepada kami dari sisi-Mu dan sempurnakanlah bagi kami petunjuk yang lurus dalam urusan kami (ini).”
Begitu juga ketika di masa muda, Nabi Ibrahim berani untuk melakukan penghancuran terhadap berhala-berhala, demi mewujudkan ke-ESA-an Tuhannya, ini adalah suatu perbuatan yang sangat tinggi nilai keluhurannya, meskipun perbuatan yang dilakukan itu berdampak terhadap terancamnya keselamatan jiwanya. Firman Allah SWT dalam Aquran (QS.21:58-60):
فَجَعَلَهُمْ جُذَاذًا إِلَّا كَبِيرًا لَهُمْ لَعَلَّهُمْ إِلَيْهِ يَرْجِعُونَ قَالُوا مَنْ فَعَلَ هَذَا بِآَلِهَتِنَا إِنَّهُ لَمِنَ الظَّالِمِينَ قَالُوا سَمِعْنَا فَتًى يَذْكُرُهُمْ يُقَالُ لَهُ إِبْرَاهِيمُ
Maka Ibrahim membuat berhala-berhala itu hancur berpotong-potong, kecuali yang terbesar (induk) dari patung-patung yang lain; agar mereka kembali (untuk bertanya) kepadanya. Mereka berkata: “Siapakah yang melakukan perbuatan Ini terhadap tuhan-tuhan kami, Sesungguhnya dia termasuk orang-orang yang zalim.” Mereka berkata: “Kami dengar ada seorang pemuda yang mencela berhala-berhala Ini yang bernama Ibrahim “.
Maka Ibrahim membuat berhala-berhala itu hancur berpotong-potong, kecuali yang terbesar (induk) dari patung-patung yang lain; agar mereka kembali (untuk bertanya) kepadanya. Mereka berkata: “Siapakah yang melakukan perbuatan Ini terhadap tuhan-tuhan kami, Sesungguhnya dia termasuk orang-orang yang zalim.” Mereka berkata: “Kami dengar ada seorang pemuda yang mencela berhala-berhala Ini yang bernama Ibrahim “.
Dalam sejarah juga dibuktikan bahwa diantara orang-orang yang pertama kali masuk Islam (Assabiqun Alawwalun) adalah para pemuda. Diantaranya adalah seorang saudagar kaya yang relatif masih muda, dialah Abu Bakar Ra. yang pada saat itu berusia 38 tahun, bahkan ada yang jauh lebih muda, Ali Bin Abi Thalib Ra. yang merupakan sepupu Nabi yang masih berusia 10 tahun. Dan masih banyak pemuda-pemuda yang lain yang juga turut berjuang bersama Nabi dalam permulaan Islam yang tidak mungkin disebutkan semua dalam rubrik yang singkat ini. Peran pemuda-pemuda inilah yang membantu dakwah Nabi dalam menyebarkan agama Islam pertama kali di muka bumi ini.
Oleh sebab itu, jika kita mau menilik kekuatan Islam di masa-masa awal, sebenarnya terletak pada pemudanya. Sedang yang terjadi dewasa ini, justru keadaannya tidak demikian, bahkan mereka lebih akrab dengan budaya-budaya yang tidak ada hubungannya, bahkan bertentangan dengan Islam.
Selain itu karena memang ada usaha-usaha dari musuh-musuh Islam, dengan sengaja menjauhkan pemuda-pemuda kita dari pada ajaran Islam, dengan tujuan untuk mengahancurkan Islam, sehingga umat Islam tidak memiliki power, meskipun jumlah umat Islam sangat banyak. Adapun salah satu “senjata” yang digunakan oleh musuh-musuh Islam dan cukup efektif pengaruhnya terhadap pemuda-pemuda Islam diantaranya adalah tayangan-tayangan di televisi, yang cenderung untuk ditiru, karena memang dikemas dengan baik sehingga menarik perhatian pemuda-pemuda kita.
Maka langkah-langkah yang perlu dilakukan agar pemuda-pemuda kita memiliki prinsip yang kuat dan tidak mudah terpengaruh terhadap budaya yang negatif diantaranya; tentunya melarang kepada pemuda-pemuda kita dari pada menyaksikan tayangan-tayangan televisi yang tidak mendidik. Untuk hal ini, lebih jauh lagi khusus bagi orang tua, hendaknya bentuk larangan ini dan juga bentuk pendidikan-pendidikan positif yang lain harusnya mulai diberikan sebelum mereka menginjak masa remaja atau dewasa. Pendidikan yang diberikan sejak dini kepada anak, akan membuat anak menjadi terbiasa, sehingga pendidikan ini akan membentuk karakter yang kuat ketika anak menginjak masa remaja atau dewasa.
Sejalan dengan itu, pendidikan tentang ajaran Islam juga harus didahulukan dan termasuk yang utama yang harus diberikan oleh orang tua kepada anak-anak mereka. Dengan demikian, anak bisa memahami dan meyakini tentang kebenaran ajaran Islam dan juga menyadari tentang pentingnya untuk melaksanakan dengan benar terhadap ajaran Islam. Sebab, jika seseorang tidak tahu tentang sesuatu hal, maka dia akan cenderung menilai sesuatu itu sesuai dengan selera dan pemahamannya sendiri, semisal jika seseorang tidak tahu bahwa, obat yang pahit dan suntikan yang sakit itu sebenarnya bermanfaat untuk menyembuhkan penyakitnya, maka dia tidak akan mau minum obat dan akan menolak untuk disuntik. Dalam memahami ajaran Islam juga demikian, jika seseorang tidak memahami makna ajaran Islam dengan tepat, maka akan dianggapnya ajaran Islam adalah suatu ajaran yang “pahit” dan “menyakitkan”.
Berbeda ketika permulaan masa Islam dahulu, jika ada orang musyrik jahiliyah yang tertarik kepada Islam dan masuk kepada agama Islam, maka dia akan menjadi pemeluk Islam yang baik dan meyakini tentang kebenaran ajarannya, karena dia berusaha untuk memahami Islam dengan sebenarnya. Namun sekarang keadaanya terbalik, umat Islam sekarang berperilaku seperti jahiliyah, yang tidak meyakini tentang kebenaran ajaran Islamnya, bahkan tidak pernah terlintas keinginan dalam hatinya, atau paling tidak meluangkan waktunya untuk mempelajari dan memahami dengan benar tentang ajaran Islam. Sehingga perlu untuk disadarkan kepada umat Islam tentang pentingnya mempelajari ajaran yang dianutnya, agar tidak terpengaruh dengan persepsi orang atau kelompok yang tidak benar dalam memahami Islam itu sendiri
Apakah Maksud Ummiy Yang Disandarkan Kepada Baginda Sallallahu Alaihi Wasallam??
Saya telah diminta oleh seorang sahabat untuk memerhatikan perbahasan berkenaan Rasulullah sallallahu alaihi wasallam digelar al-Ummiy yang diterangkan oleh Doktor Mashitah Ibrahim dan Ustaz Hj Ashaari Muhammad(Pengasas al-Arqam).
Setelah saya telitikan maksud perbahasan mereka berdua di dalam link [klik di sini], kesimpulan yang dapat saya berikan ialah kedua-duanya menunjukkan adab dan rasa ta’dzim yang tinggi pada Baginda sallallahu alaihi wasallam. Ini merupakan pujian yang patut diberikan kepada mereka berdua di dalam membahaskan perkara ini.
Sedikit kritikan saya terhadap jawapan yang diberikan oleh Ustaz Hj Ashaari Muhammad ialah berkenaan penafiannya terhadap maksud Ummiy itu ialah tidak pandai membaca dan menulis secara total. Seolah-olah beliau mengatakan bahawa orang yang berpandangan sedemikian menganggap bahawa baginda sallallahu alaihi wasallam sebagai seorang yang bodoh dan tidak pandai. Penafsiran Ustaz Hj Ashaari Muhammad tentang ummiy dengan mengatakan maksud sebenarnya ialah orang yang belajar dengan cara yang luar biasa, tidaklah menjadi masalah. Tetapi mempersalahkan dan melabelkan maksud ummiy seperti yang diterangkan oleh para ulama Islam adalah salah adalah suatu perkara yang tidak sepatutnya dilakukan oleh beliau. Ini seolah-olah tidak meraikan khilaf yang baik dalam memberikan sesuatu pendapat.
Kita perlu memahami bahawa membandingkan Baginda sallallahu alaihi wasallam dengan manusia biasa maka sebenarnya satu perbandingan yang tidak tepat. Mana mungkin kita ingin menyamakan ketidakpandaian kita membaca dan menulis dengan sifat ummiy yang ada pada baginda sallallahu alaihi wasallam.
Ini yang dipegang oleh jumhur ulama Islam. Tiada seorang pun yang mengatakan bahawa sifat Ummiy yang ada pada Baginda sallallahu alaihi wasallam melambangkan kebodohan. Malah sepakat para ulama mengatakan sesiapa yang mengatakan sedemikian maka boleh dihukumkan kafir.
Sifat Ummiy yang ada pada Baginda sallallahu alaihi wasallam adalah merupakan satu tanda kebesaran Allah taala kepada kekasihNya. Ini dapat mengelakkan daripada tohmahan bahawa Baginda sallallahu alaihi wasallam yang menulis al-Quran, atau menukilkan daripada kitab-kitab terdahulu seperti Taurat dan Injil. Firman Allah taala di dalam surah al-Ankabut ayat 48:
وَمَا كُنْتَ تَتْلُوا مِنْ قَبْلِهِ مِنْ كِتَابٍ وَلَا تَخُطُّهُ بِيَمِينِكَ إِذًا لَارْتَابَ الْمُبْطِلُونَ
Maksudnya: “Dan kamu (Muhammad) tidak pernah membaca satu kitab pun sebelumnya dan tidak pernah menulis satu kitab pun dengan tangan kananmu”
Firman Allah taala lagi di dalam surah al-A’raf ayat 157:
الَّذِينَ يَتَّبِعُونَ الرَّسُولَ النَّبِيَّ الْأُمِّيَّ الَّذِي يَجِدُونَهُ مَكْتُوبًا عِنْدَهُمْ فِي التَّوْرَاةِ وَالْإِنْجِيلِ يَأْمُرُهُمْ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَاهُمْ عَنِ الْمُنْكَرِ وَيُحِلُّ لَهُمُ الطَّيِّبَاتِ وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ الْخَبَائِثَ وَيَضَعُ عَنْهُمْ إِصْرَهُمْ وَالْأَغْلَالَ الَّتِي كَانَتْ عَلَيْهِمْ فَالَّذِينَ آَمَنُوا بِهِ وَعَزَّرُوهُ وَنَصَرُوهُ وَاتَّبَعُوا النُّورَ الَّذِي أُنْزِلَ مَعَهُ أُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
Maksudnya: “Orang-orang yang mengikuti Rasul, seorang nabi yang ummi yang mereka temukan (namanya) tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada pada mereka, yang menyuruh mereka kepada yang maaruf dan melarang mereka dari yang mungkar, yang menghalalkan bagi mereka semua yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk dan membuang dari mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka. Maka orang-orang yang beriman kepadanya, memuliakannya, menolongnya, dan mengikuti cahaya yang diturunkan kepadanya. Mereka itulah orang-orang yang beruntung.”
Ayat pertama yang kita sebutkan menjadi dalil bahawa Baginda sallallahu alaihi wasallam sebelum diturunkan wahyu merupakan seorang yang Ummiy iaitu tidak pandai menulis dan membaca.
Manakala ayat kedua menjadi dalil bahawa golongan ahlul kitab yang terdiri daripada Yahudi dan Nasrani mengenali Baginda sallallahu alaihi wasallam melalui sifat sebegini melalui kitab-kitab mereka. Maksudnya, jika benar nabi yang diutuskan selepas Saidina Musa dan Saidina Isa alaihimassalam bersifat sedemikian maka tiada alasan untuk mereka mengingkari Baginda sallallahu alaihi wasallam.
ADAKAH TERDAPAT PENDAPAT ULAMA YANG MENGATAKAN BAHAWA BAGINDA SALLALLAHU ALAIHI WASSALAM PANDAI MEMBACA DAN MENULIS SELEPAS DITURUNKAN WAHYU?
Menurut Syeikhuna Atiyyah Saqr rahimahullah dan Syeikhuna Murabbi Yusri Rusydi hafizahullah, terdapat sebahagian ulama yang berpendapat sedemikian. Antaranya ialah al-Imam Baaji al-Maliki rahimahullah. Tiga dalil yang digunakan oleh ulama-ulama yang berpendapat sedemikian ialah:
1. Baginda sallallahu alaihi wasallam memadamkan perkataan Muhammad Rasulullah kepada Muhammad bin Abdullah ketika peristiwa Sulh Hudaibiyah(perjanjian damai antara Kaum Muslimin dan Kafir Quraisy)tetapi tidak berupaya menulisnya. Ini disebutkan oleh al-Imam Bukhari di dalam Kitab Sahihnya.
2. Baginda sallallahu alaihi wasallam membacakan lembaran perjanjian yang termeterai tersebut kepada Uyainah bin Hisni dan menerangkan maksudnya.
3. Baginda sallallahu alaihi wasallam menerangkan tentang sifat Dajjal dengan menyebutkan bahawa di tulis di antara kedua matanya dengan perkataan KAFIR. Ini bermakna Baginda sallallahu alaihi wasallam pandai membaca perkataan tersebut.
Jumhur ulama menjawab semula dalil-dalil yang digunakan oleh para ulama yang berpendapat sedemikian dengan mengatakan bahawa :
1. Menurut Syeikh al-Allamah Muhammad Said Ramadhan al-Buti hafizahullah di dalam kitabnya Fiqh Sirah, Baginda sallallahu alaihi wasallam meminta Saidina Ali karramallahu wajhah untuk memadamkan perkataan Rasulullah. Tetapi Saidina Ali tidak mahu melakukannya. Al-Imam Muslim radhiyallahu anhu menerangkan lagi dengan jelas bahawa Baginda sallallahu alaihi wasallam meminta agar Saidina Ali menunjukkan dimanakah perkataan Rasulullah itu tertulis. Maka ditunjuk perkataan mulia itu kepada Baginda sallallahu alaihi wasallam dan Baginda memadamnya dengan tangannya yang mulia. Ini dalil yang jelas bahawa Baginda sallallahu alaihi wasallam tidak tahu membaca dan menulis.
2. Dalil kedua yang digunakan oleh mereka adalah daripada hadis yang tidak Sahih. Maka Hadis yang Dhoif tidaklah boleh untuk menafikan hadis yang Sahih yang bertentangan dengannya.
3. Dalil ketiga yang digunakan oleh mereka dijawab oleh para ulama jumhur dengan mengatakan bahawa pengetahuan Baginda sallallahu alaihi wasallam terhadap sebahagian huruf tidaklah menafikan bahawa Baginda tetap ummiy.
APAKAH YANG DIMAKSUDKAN DENGAN UMMIY?
Menurut Profesor Dr Abdul Shobur Marzuq, perkataan ummiy di sini kemungkinan disandarkan kepada perkataan الأمية yang bermaksud tidak pandai membaca dan menulis. Mungkin juga ianya disandarkan kepada perkataan الأممية . Berdasarkan istilah yang digunakan oleh golongan Yahudi laknatullah, perkataan الأممية dilabelkan kepada sesiapa yang bukan daripada bangsa mereka.
Jika perkataan Ummiy disandarkan kepada Baginda sallallahu alaihi wasallam di ambil daripada salah satu atau kedua-duanya maka tetap tidak menjadi suatu keaiban kepada baginda sallallahu alaihi wasallam dengan hikmah yang telah kita terangkan sebelum ini. Al-Imam Fakhruddin al-Razi rahimahullah menerangkan di dalam Tafsirnya bahawa sifat ummiy yang ada pada baginda sallallahu alaihi wasallam ini merupakan mukjizat yang sangat besar kerana Baginda sallallahu alaihi wasallam mengajarkan kepada para sahabat ayat al-Quran secara berkali-kali tanpa berlakunya perubahan walaupun satu huruf. Ini merupakan perkara yang luar biasa. Jika seseorang tersebut membacakan sesuatu dihadapan pendengar secara berkali-kali, maka tentulah akan berlaku sedikit perubahan. Ini berbeza dengan al-Quran yang dibacakan oleh Baginda sallallahu alaihi wasallam. Walaupun dibacakan dan diajarkan berkali-kali, tetap tidak berlaku berubahan walaupun satu huruf padanya.
Menurut al-Imam Qurtubi, Ibn Hajar al-Asqallani, Abu Hayyan, Ibn Atiyyah, al-Alusi dan lain-lain ulama rahimahumullah perkataan Ummiy tersebut disandarkan kepada Ummah Ummiyah yang bermaksud Kaum yang tidak pandai membaca dan menulis. Ini disebutkan oleh baginda sallallahu alaihi wasallam di dalam hadisnya yang mulia:
إنا أمة أمية لا نكتب و لا نحسب
Maksudnya: Sesungguhnya kami berasal daripada kaum yang Ummiy yang tidak pandai menulis dan tidak pandai melakukan pengiraan bintang (untuk menilik).
(hadis riwayat al-Bukhari, Muslim, Abu Daud, al-Nasa’ie dan Ahmad bin Hambal rahimahumullah)
Ramai yang salah menterjemahkan perkataan لا نحسُب dengan memberikan maksud tidak pandai ilmu kira-kira (ilmu hisab). Ini jelas bertentangan dengan pendapat para ulama Muhaqqiqin. Al-Imam Ibn Hajar al-Asqallani dan al-Imam Manawi rahimahumallah menerangkan bahawa maksud sebenar perkataan itu ialah tidak pandai melakukan perkiraan bintang.
Al-Nuhhas rahimahullah mengatakan bahawa perkataan Ummiy tersebut disandarkan kepada Ummul Qura iaitu Makkah tempat baginda sallallahu alaihi wasallam.
Terdapat juga para ulama yang mengatakan bahawa perkataan Ummiy ini disandarkan kepada Ummi(ibu) yang membawa maksud disandarkan kepada keadaan Baginda yang tidak pandai membaca dan menulis seolah-olah seperti baru dilahirkan oleh Ibunya yang mulia.
KESIMPULAN
Kesimpulan yang dapat saya berikan, sifat Ummiy yang ada pada Baginda sallallahu alaihi wasallam tidaklah menjadi suatu keaiban pada Baginda kerana ianya merupakan satu mukjizat dan bukti bahawa Baginda sallallahu alaihi wasallam adalah benar-benar utusan Allah taala.
Sesiapa yang mengatakan ummiy yang ada pada Baginda sallallahu alaihi wasallam itu merupakan satu kebodohan, jika yang mengatakan itu seoarang yang jahil maka perlulah ditunjuk jalan yang benar. Jika yang mengatakan perkara tersebut seorang yang mengetahui bahaya perkataannya, maka jelaslah bahawa dia telah jatuh kafir.
Kritikan saya terhadap perkataan Ustaz Hj Ashaari Muhammad bukanlah bermaksud saya menafikan seratus peratus pendapatnya. Sikap taasub membuta tuli dan tidak boleh menerima pendapat orang lain bukanlah prinsip yang kita pelajari daripada para ulama kita di al-Azhar al-Syarif. Kebenaran itu lebih berhak diikuti. Wallahu a’lam.
Rujukan:
1. Tafsir al-Qurtubi jilid 9 cetakan Muassasah Risalah.
2. Tafsir Ruhul Ma’ani oleh al-Imam Alusi rahimahullah jilid 9 cetakan Darul Ihya’ Turaths al-Arabi
3. Tafsir Bahrul Muhith oleh al-Imam Abu Hayyan al-Andalusi rahimahullah jilid 4 cetakan Darul Kutub Ilmiyah.
4. Tafsir Mafatihul al-Ghaib oleh al-Imam Fakhruddin al-Razi rahimahullah jilid 15 cetakan Darul Fikr Beirut
5. Tafsir Muharrar al-Wajiz oleh al-Imam Ibn Atiyyah rahimahullah jilid 2 cetakan Darul Kutub Ilmiyah
6. Fathul Bari Syarah Sahih Bukhari oleh al-Imam Ibn Hajar al-Asqallani jilid 3 cetakan Maktabah Abikan
7. Faidhul Qadir Syarah al-Jami’ al-Shagir oleh al-Imam Manawi jilid 2 cetakan Darul Kutub Ilmiyah
8. Fiqh Sirah al-Nabawiyah oleh Syeikh Dr Muhammad Said Ramadhan al-Buti hafizahullah cetakan Darul Salam Kaherah
9. Haqa’iq al-Islam fi Muwajahah Shubuhat al-Musyakkikin cetakan kedua di bawah seliaan Kementerian Keagamaan Mesir.
10. Fatawa Ahsanul Kalam oleh Syeikhuna Al-Allamah Atiyyah Saqr rahimahullah jilid 1 cetakan Maktabah Taufiqiyah.
Sami’na wa Atho’na
Oleh: Alhabib Shodiq bin Abubakar Baharun & K.H. Ahmad Baidlowi.
Oleh: Alhabib Shodiq bin Abubakar Baharun & K.H. Ahmad Baidlowi.
(Disampaikan dalam majlis Ratib & Maulid di rumah ustadz Muhammad Khumaidi, Gemah – Semarang tanggal 7 Agustus 2009)
Allah Swt berfirman:
“Hai orang beriman jangan kau bertanya tentang hal yang kau berat untuk mengamalkannya”.
“Hai orang beriman jangan kau bertanya tentang hal yang kau berat untuk mengamalkannya”.
Ada kisah serombongan bani Israil menghadap nabi Musa As & bertanya tentang siapa yang membunuh salah seorang diantara mereka. Dikatakan oleh nabi Musa As bahwa mereka disuruh Allah Swt mencari sapi. Mereka tanya sapi itu tua apa muda, dijawab sapi itu tidak tua & tidak muda. Mereka tidak puas & bertanya lagi warnanya apa, dijawab kuning keemasan. Mereka masih juga kurang puas & bertanya lagi dst.
Hikmah dari kisah tsb adalah jika kita disuruh ulama untuk mengamalkan sesuatu amalan atau ibadah, maka amalkan saja apa yang beliau perintahkan tanpa banyak bertanya yang justru akan memberatkan kita.
Bani Israil adalah kaum yang membangkang dibandingkan dengan kaum lainnya. Oleh Allah Swt mereka dikaruniai banyak kelebihan tapi mereka tidak mengamalkannya padahal mereka mendengarkannya. Jika ini yang kita lakukan maka kita tidak mendapatkan sir (rahasia) dari amalan tsb. Sebaliknya, kita akan mendapatkan sir (rahasia) jika melakukan apa yang disuruhkan kepada kita tanpa bertanya. Bertanya boleh tapi pertanyaan-pertanyaan yang memberatkan kita, yang kita tidak akan melakukannya sebaiknya tidak perlu disampaikan.
Seperti di bulan Sya’ban ini kita dianjurkan memperbanyak membaca sholawat, jika disuruh membaca sholawat saja oleh ulama maka baca saja sholawat yang mudah bagi kita, jangan kita bertanya yang akan memberatkan kita.
Orang yang mencintai seseorang atau sesuatu maka dia akan sering menyebutnya. Jika kita mencintai nabi Muhammad Saw maka perbanyaklah membaca sholawat kepada nabi Muhammad Saw, khususnya bulan Sya’ban ini. Barang siapa bersungguh-sungguh maka akan berhasil. Salafush sholeh membaca wirid ribuan kali tiap harinya, apakah kita mampu? Bisa jika berusaha. Amin.
Penyakit Kelimapuluh Dua : Tamak
Rawatannya: Ialah hendaklah sentiasa difahami bahawa seseorang itu tidak akan mampu menambahkan sesuatu untuk menjadi miliknya selain daripada ketentuan rezeki yang ditetapkan oleh Allah Ta’ala. Hal ini disebut oleh Ibn Mas’ud رضي الله عنه didalam riwayatnya daripada Rasulullah صلى الله عليه وآله وسلم bersabda, bahawa Allah Ta’ala telah berfirman kepada malaikat:
أكتب رزقه وأجله وعمله وشقي أو سعيد
Maksudnya: Tulislah akan rezeki, ajal serta amalannya samada ia mendapat balasan celaka atau bahagia. (Muttafaq ‘alaih. Riwayat dari Ibn Mas’ud. Al-Bukhari dalam bab Bada’ al-Khalq, Muslim bab al-Qadar, Abu Daud bab al-Sunnah, al-Tirmizi bab al-Qadar dan Ibn Majah bab Muqaddimah)
Firman Allah Ta’ala:
…. وَمَآ أَنَاْ بِظَلاَّمٍ لِّلْعَبِيدِ …..
Maksudnya: “Dan Aku tidak sekali-kali berlaku zalim kepada hamba-hambaKu.” (Surah al-Qaf:29)
Penyakit Kelimapuluh Tiga : Hasad
Rawatannya: Ialah hendaklah difahami sifat hasad itu adalah memusuhi nikmat Allah Ta’ala. Oleh itu Nabi صلى الله عليه وآله وسلم bersabda dalam hadits:
قال النبي صلى الله عليه وآله وسلم : لا تحاسدوا
Maksudnya: Janganlah kamu saling berhasad dengki. (Riwayat al-Bukhari dalam kitab al-Adab, Muslim dalam kirab al-Bir, al-Tirmizi dalam kitab al-Bir, Abu Daud dalam kitab al-Adab, Ibn Majah dalam kitab al-Du’a, al-mUwattho’ dalam kitab Husn al-Khulq dan Ibn Hanbal 1/5,7)
Firman Allah Ta’ala:
…. وَمَآ أَنَاْ بِظَلاَّمٍ لِّلْعَبِيدِ …..
Maksudnya: “Dan Aku tidak sekali-kali berlaku zalim kepada hamba-hambaKu.” (Surah al-Qaf:29)
Penyakit hasad ini menular adalah kerana sedikitnya perasaan kasih sayang dalam hati seseorang terhadap orang-orang Islam.
Penyakit Kelimapuluh Empat : Kekal dalam keadaan melakukan dosa disamping hatinya mengharap untuk mendapat rahmat serta mengharapkan keampunan dari Allah Ta’ala. [1]
Rawatannya: Ialah sentiasa memahami bahawa Allah Ta’ala akan mengurniakan rahmatNya kepada sesiapa yang tidak kekal dalam melakukan dosa. Firman Allah Ta’ala:
وَلَمْ يُصِرُّواْ عَلَىٰ مَا فَعَلُواْ وَهُمْ يَعْلَمُونَ
Maksudnya: “….. dan mereka juga tidak meneruskan perbuatan keji yang mereka telah lakukan itu, sedang mereka mengetahui (akan salahnya dan akibatnya).” (Surah Ali-Imran:135)
Abu al-Faidh berkata: “Kekal melakukan dosa adalah satu perbuatan menghina qadha dan qadar Allah Ta’ala.” Oleh itu hendaklah diketahui bahawa Allah Ta’ala telah menetapkan rahmatNya bagi sesiapa yang melakukan kebaikan. FirmanNya:
إِنَّ رَحْمَتَ ٱللَّهِ قَرِيبٌ مِّنَ ٱلْمُحْسِنِينَ
Maksudnya: “Sesungguhnya rahmat Allah Ta’ala itu dekat keapda orang-orang yang memperbaiki amalannya.” (Surah al-A’raf:56)
Disamping itu Allah Ta’ala juga telah menetapkan keampunanNya kepada sesiapa yang bertaubat. FirmanNya:
وَيٰقَوْمِ ٱسْتَغْفِرُواْ رَبَّكُمْ ثُمَّ تُوبُوۤاْ إِلَيْهِ
Maksudnya: “Wahai kaumku! Mintalah ampun kepada Tuhan kamu, kemudian kembalilah taat kepadaNya.” (Surah Hud:52)
FirmanNya lagi:
وَإِنِّي لَغَفَّارٌ لِّمَن تَابَ وَآمَنَ وَعَمِلَ صَالِحَاً ثُمَّ ٱهْتَدَىٰ
Maksudnya: “Dan sesungguhnya aku amat memberi ampun kepada orang-orang yang bertaubat serta beriman dan beramal sholeh, kemudian ia tetap teguh menurut petunjuk yang diberikan kepadanya.” (Surah Thoha:82)
Notakaki:
[1] Di dalam hal ini al-Imam al-Habib ‘Abdullah bin ‘Alwi bin Muhammad al-Haddad رضي الله عنه menyebut di dalam kitabnya an-Nashoih ad-Diniyyah wal Washoya al-Imaniyyah:
“…Ketahuilah, bahawa mengharapkan pengampunan daripada Allah Subhanahuwa Ta’ala tetapi malas beramal serta selalu saja mensia-siakan masa adalah perkara yang paling merbahaya sekali kepada manusia. Perkara ini sering disebut-sebut oleh kebanyakan orang yang keliru dan terpedaya dari ahli zaman ini. …”
“…. Jika engkau berdosa kemudian tidak segera bertaubat kepada Allah dengan sebenar-benar taubat, malah engkau mengharapkan Allah mengampunimu, dan demikian juga engkau malas mengerjakan amal sholih, sentiasa sibuk dengan urusan keduniaan sepanjang masa, lalu engkau berangan-angan bahwa Allah Ta’ala akan memuliakanmu dan mengangkat darjatmu di dalam syurga bersama-sama para muhsinin, maka nyatalah engkau seorang yang angan-angan kosong lagi terpedaya (tertipu) dan lemah lagi bodoh….”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar